Paham Komunisme dan Hukum Agraria: Prinsip, Penerapan, dan Relevansi

romanticheadlines.com, 30 MEI 2025
Penulis: Riyan Wicaksono
Editor: Muhammad Kadafi
Tim Redaksi: Diplomasi Internasional Perusahaan Victory88

Paham komunisme, yang dikembangkan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels, memiliki pengaruh besar terhadap pengaturan kepemilikan dan pengelolaan tanah melalui hukum agraria. Dalam kerangka komunisme, tanah dianggap sebagai alat produksi utama yang harus dikuasai secara kolektif untuk menghapus eksploitasi kelas dan memastikan distribusi hasil pertanian yang adil. Hukum agraria komunis bertujuan untuk menghilangkan kepemilikan tanah pribadi, menggantikannya dengan sistem kolektif atau kepemilikan negara, serta mendukung pembangunan ekonomi sosialis. Artikel ini mengulas secara mendalam prinsip hukum agraria dalam komunisme, perkembangan historis, penerapan di negara-negara seperti Uni Soviet, Tiongkok, dan Kuba, kelebihan dan tantangan, serta relevansinya di era modern, berdasarkan sumber seperti Encyclopædia Britannica, Marxists.org, FAO, dan Stanford Encyclopedia of Philosophy.

1. Pengertian Komunisme dan Hukum Agraria

1.1 Definisi Komunisme

Komunisme adalah ideologi politik dan ekonomi yang mengadvokasi masyarakat tanpa kelas, di mana alat produksi, termasuk tanah, dimiliki secara kolektif. Menurut Manifesto Komunis (1848) karya Marx dan Engels, komunisme bertujuan menghapus kepemilikan pribadi atas alat produksi dan mendistribusikan hasil produksi berdasarkan kebutuhan (from each according to his ability, to each according to his needs). Dalam fase transisi (sosialisme), negara memainkan peran sentral dalam mengelola sumber daya, termasuk tanah, untuk mencegah kemunculan kembali kapitalisme.

1.2 Hukum Agraria dalam Komunisme

Hukum agraria dalam komunisme mengatur kepemilikan, penggunaan, dan distribusi tanah pertanian dengan prinsip-prinsip berikut:

  • Penghapusan Kepemilikan Pribadi: Tanah tidak boleh dimiliki secara individu atau oleh tuan tanah, melainkan dikuasai oleh negara atau komunitas kolektif untuk mencegah eksploitasi petani oleh pemilik tanah.
  • Kolektivisasi: Pertanian dikelola melalui koperasi atau pertanian kolektif (kolkhoz di Uni Soviet, komun di Tiongkok), di mana petani bekerja bersama dan berbagi hasil panen.
  • Redistribusi Tanah: Tanah yang sebelumnya dimiliki oleh tuan tanah atau elit feodal didistribusikan kembali kepada petani atau dikelola oleh negara untuk kepentingan kolektif.
  • Produksi untuk Kebutuhan Sosial: Pertanian diarahkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, bukan keuntungan individu, dengan fokus pada ketahanan pangan nasional.
  • Peran Negara: Dalam fase sosialisme, negara mengawasi pengelolaan tanah, menyediakan teknologi, dan menetapkan kuota produksi untuk mendukung industrialisasi.

Prinsip-prinsip ini bertentangan dengan hukum agraria kapitalis, yang mengutamakan kepemilikan pribadi dan pasar bebas dalam perdagangan tanah.

2. Perkembangan Historis Hukum Agraria Komunis

2.1 Teori Awal (Abad ke-19)

Karl Marx dalam Das Kapital (1867) mengkritik sistem agraria kapitalis, di mana petani kecil kehilangan tanah akibat akumulasi modal oleh tuan tanah dan kapitalis. Engels dalam The Peasant Question in France and Germany (1894) menekankan perlunya aliansi antara proletariat dan petani untuk merebut tanah dari tuan tanah melalui revolusi. Marx dan Engels tidak merumuskan hukum agraria spesifik, tetapi ide mereka tentang kolektivisasi tanah menjadi dasar reformasi agraria komunis.

2.2 Uni Soviet (1917–1991)

Setelah Revolusi Bolshevik 1917, Uni Soviet menjadi pelopor hukum agraria komunis:

  • Dekret tentang Tanah (1917): Dikeluarkan oleh Lenin, dekret ini menasionalisasi tanah tanpa kompensasi kepada tuan tanah dan mendistribusikannya kepada petani. Tanah secara resmi dimiliki negara, tetapi petani mendapatkan hak penggunaan (usufruct).
  • Kolektivisasi Stalin (1928–1940): Untuk mendukung industrialisasi, Stalin memaksa petani bergabung dalam pertanian kolektif (kolkhoz) atau pertanian negara (sovkhoz). Kolektivisasi ini menghapus kepemilikan pribadi dan mengintegrasikan produksi pertanian ke dalam rencana ekonomi lima tahun.
  • Dampak: Kolektivisasi meningkatkan produksi untuk kebutuhan industri, tetapi menyebabkan bencana seperti Holodomor (kelaparan Ukraina 1932–1933), yang menewaskan 3,5–7 juta orang akibat kuota ekspor paksa dan penyitaan tanaman (Encyclopædia Britannica). Petani kaya (kulak) dihukum sebagai “musuh kelas”, memperburuk konflik sosial.
  • Perkembangan Lanjutan: Pada 1950-an, reformasi Khrushchev memperbaiki manajemen kolkhoz, tetapi inefisiensi tetap ada hingga keruntuhan Uni Soviet pada 1991.

2.3 Tiongkok (1949–Sekarang)

Republik Rakyat Tiongkok (RRT) menerapkan hukum agraria komunis dengan adaptasi lokal:

  • Reformasi Agraria (1949–1953): Setelah kemenangan Partai Komunis Tiongkok, tanah tuan tanah disita dan didistribusikan kepada 300 juta petani tanpa tanah. Sekitar 1–2 juta tuan tanah tewas dalam proses ini (FAO).
  • Kolektivisasi (1953–1958): Petani diorganisasi ke dalam koperasi dan kemudian komun rakyat selama Great Leap Forward (1958–1962). Komun mengelola tanah, alat, dan tenaga kerja secara kolektif, tetapi kebijakan ini menyebabkan kelaparan besar (15–45 juta kematian) akibat manajemen buruk dan kuota tidak realistis.
  • Reformasi Deng Xiaoping (1978): Sistem Tanggung Jawab Rumah Tangga (Household Responsibility System) memungkinkan petani mengelola tanah milik negara secara individu dengan kontrak jangka panjang, meningkatkan produktivitas. Tanah tetap dimiliki negara, tetapi hak penggunaan dapat diperdagangkan.
  • Tren Modern: Pada 2025, Tiongkok mempertahankan kepemilikan negara atas tanah, tetapi pasar tanah pedesaan berkembang melalui hak sewa. Hukum Agraria 2019 memperpanjang kontrak tanah hingga 2050, mendukung modernisasi pertanian (FAO).

2.4 Kuba (1959–Sekarang)

  • Reformasi Agraria 1959: Setelah revolusi Fidel Castro, tanah milik perusahaan asing (seperti United Fruit Company) dan tuan tanah dinasionalisasi. Sekitar 70% tanah pertanian dikelola oleh negara melalui pertanian kolektif.
  • Kebijakan Lanjutan: Pada 1990-an, Kuba memperkenalkan koperasi petani (Unidades Básicas de Producción Cooperativa), memberikan otonomi lebih besar kepada petani. Pada 2008, reformasi Raúl Castro mengizinkan petani menyewa tanah negara hingga 10–25 tahun.
  • Dampak: Reformasi meningkatkan ketahanan pangan, tetapi produktivitas terhambat oleh kurangnya teknologi dan embargo AS (FAO).

2.5 Negara Komunis Lain

  • Vietnam: Reformasi Đổi Mới (1986) memperkenalkan hak penggunaan tanah jangka panjang, mirip Tiongkok, meningkatkan produksi padi hingga menjadikan Vietnam eksportir terbesar kedua dunia pada 2023 (FAO).
  • Korea Utara: Tanah sepenuhnya dimiliki negara, dengan pertanian kolektif yang sangat terpusat. Krisis pangan 1990-an (Arduous March) menewaskan ratusan ribu orang akibat inefisiensi dan isolasi ekonomi (Human Rights Watch).

3. Prinsip Hukum Agraria Komunis

Hukum agraria komunis memiliki karakteristik berikut:

  • Kepemilikan Negara atau Kolektif: Tanah dianggap milik rakyat, dikelola oleh negara atau koperasi untuk mencegah akumulasi pribadi.
  • Redistribusi Egaliter: Tanah tuan tanah atau elit feodal disita dan dibagikan kepada petani tanpa tanah atau dikelola secara kolektif.
  • Integrasi dengan Ekonomi Terencana: Produksi pertanian diarahkan oleh rencana negara untuk mendukung industrialisasi dan ketahanan pangan.
  • Hak Petani: Petani mendapatkan hak penggunaan tanah, akses ke alat dan benih, serta jaminan sosial seperti kesehatan dan pendidikan.
  • Penghapusan Feudalisme: Hukum agraria menghapus hubungan feodal, seperti sewa tanah atau kerja paksa, yang dianggap eksploitatif.

4. Penerapan Hukum Agraria Komunis: Studi Kasus

4.1 Uni Soviet

  • Keberhasilan:
    • Redistribusi tanah pada 1917 mengakhiri sistem feodal, memberikan hak kepada jutaan petani.
    • Kolektivisasi mendukung industrialisasi, meningkatkan pasokan makanan ke kota pada 1930-an.
    • Pendidikan dan mekanisasi pertanian meningkatkan keterampilan petani.
  • Kegagalan:
    • Kolektivisasi paksa menyebabkan perlawanan petani, penyitaan ternak, dan kelaparan (Holodomor).
    • Inefisiensi kolkhoz dan kuota berlebihan mengurangi produktivitas.
    • Penghapusan kulak menghilangkan petani terampil, memperburuk hasil panen.

4.2 Tiongkok

  • Keberhasilan:
    • Reformasi agraria 1949–1953 mengurangi ketimpangan tanah, memberdayakan petani miskin.
    • Sistem Tanggung Jawab Rumah Tangga (1978) meningkatkan produksi pertanian 50% dalam satu dekade (FAO).
    • Investasi dalam irigasi dan teknologi mendukung ketahanan pangan.
  • Kegagalan:
    • Great Leap Forward menyebabkan kelaparan terburuk dalam sejarah akibat kolektivisasi ekstrem.
    • Ketimpangan pedesaan muncul kembali akibat pasar tanah, dengan petani miskin kehilangan hak sewa.
    • Degradasi lingkungan akibat intensifikasi pertanian (BBC).

4.3 Kuba

  • Keberhasilan:
    • Reformasi 1959 menghapus dominasi asing atas tanah, meningkatkan akses petani.
    • Koperasi dan sewa tanah meningkatkan otonomi petani pada 1990-an.
    • Pertanian organik Kuba menjadi model global untuk ketahanan pangan (FAO).
  • Kegagalan:
    • Produktivitas rendah akibat kurangnya teknologi dan embargo AS.
    • Ketergantungan pada impor pangan (80% kebutuhan pada 2023) melemahkan kemandirian (FAO).

5. Kelebihan Hukum Agraria Komunis

Menurut FAO dan analisis akademis:

  • Pemberantasan Feudalisme: Redistribusi tanah menghapus eksploitasi oleh tuan tanah, meningkatkan kesejahteraan petani miskin.
  • Ketahanan Pangan: Kolektivisasi dan rencana ekonomi memastikan pasokan makanan untuk populasi urban, seperti di Uni Soviet pada 1930-an.
  • Kesetaraan Sosial: Hukum agraria mengurangi kesenjangan kepemilikan tanah, memberdayakan kelompok marginal.
  • Dukungan Negara: Petani menerima benih, alat, dan pelatihan, meningkatkan produktivitas di beberapa kasus, seperti Tiongkok pasca-1978.

6. Tantangan dan Kritik

  • Kolektivisasi Paksa: Di Uni Soviet dan Tiongkok, kolektivisasi menyebabkan perlawanan petani, kelaparan, dan kerugian manusia (Holodomor, Great Leap Forward).
  • Inefisiensi: Pertanian kolektif sering kali kurang produktif akibat birokrasi, kurangnya insentif individu, dan manajemen buruk (Stanford Encyclopedia of Philosophy).
  • Degradasi Lingkungan: Intensifikasi pertanian untuk memenuhi kuota merusak tanah, seperti di Uni Soviet (FAO).
  • Otoritarianisme: Negara komunis sering mengabaikan hak petani untuk menentukan penggunaan tanah, seperti di Korea Utara (Human Rights Watch).
  • Ketimpangan Baru: Reformasi pasar di Tiongkok dan Vietnam menciptakan ketimpangan baru, dengan petani kaya mendominasi hak sewa tanah.

7. Relevansi Hukum Agraria Komunis di Era Modern (2025)

7.1 Konteks Global

Pada Mei 2025, hanya sedikit negara yang secara resmi menganut komunisme (Tiongkok, Kuba, Vietnam, Laos, Korea Utara), tetapi prinsip hukum agraria komunis memengaruhi kebijakan tanah di banyak negara. Diskusi di platform X menyoroti ketertarikan pada reformasi agraria egaliter di negara berkembang, tetapi juga kritik terhadap inefisiensi sistem kolektif.

7.2 Pengaruh pada Hukum Agraria Modern

  • Redistribusi Tanah: Negara seperti Afrika Selatan dan Zimbabwe mengadopsi reformasi agraria yang terinspirasi komunisme untuk mengatasi warisan kolonial, meskipun dengan hasil beragam (FAO).
  • Koperasi Pertanian: Model koperasi Kuba dan Vietnam memengaruhi pertanian berkelanjutan di Amerika Latin dan Afrika.
  • Kepemilikan Negara: Beberapa negara, seperti Ethiopia, mempertahankan kepemilikan negara atas tanah untuk mencegah spekulasi, mirip prinsip komunis.
  • Tantangan Modern: Urbanisasi dan agribisnis global menekan petani kecil, memicu seruan untuk perlindungan yang menyerupai hukum agraria komunis (BBC).

7.3 Kritik Kontemporer

  • Otoritarianisme: Di Korea Utara, hukum agraria digunakan untuk mendukung rezim, bukan petani, menyebabkan krisis pangan (Human Rights Watch).
  • Relevansi: Dengan globalisasi dan teknologi pertanian, sistem kolektif dianggap kurang fleksibel dibandingkan model campuran (FAO).
  • Protes Petani: Di Tiongkok, petani memprotes penyitaan tanah untuk pembangunan, menunjukkan ketegangan antara hukum agraria komunis dan praktik kapitalis (X posts, 2024–2025).

8. Rekomendasi untuk Penelitian dan Kebijakan

  • Studi Komparatif: Menganalisis keberhasilan dan kegagalan reformasi agraria komunis untuk merancang kebijakan tanah yang adil di negara berkembang.
  • Pertanian Berkelanjutan: Mengadopsi elemen koperasi komunis untuk mendukung pertanian organik dan ketahanan pangan.
  • Hak Petani: Memperkuat hak penggunaan tanah petani untuk mencegah eksploitasi oleh agribisnis, terinspirasi dari Tiongkok.
  • Teknologi Pertanian: Mengintegrasikan teknologi seperti drone dan IoT dalam sistem agraria kolektif untuk meningkatkan produktivitas (FAO).

9. Kesimpulan

Hukum agraria dalam paham komunisme menawarkan pendekatan egaliter untuk mengelola tanah, dengan fokus pada penghapusan kepemilikan pribadi, kolektivisasi, dan redistribusi untuk memberdayakan petani. Penerapan di Uni Soviet, Tiongkok, dan Kuba menunjukkan keberhasilan dalam mengakhiri feodalisme dan mendukung ketahanan pangan, tetapi juga menghadapi kegagalan seperti kelaparan, inefisiensi, dan otoritarianisme. Pada 2025, prinsip-prinsip seperti redistribusi tanah dan koperasi tetap relevan di negara-negara yang menghadapi ketimpangan agraria, tetapi memerlukan adaptasi dengan teknologi dan pasar global. Dengan menggabungkan elemen hukum agraria komunis, seperti perlindungan petani, dengan fleksibilitas sistem campuran, dunia dapat menciptakan sistem agraria yang lebih adil dan berkelanjutan. Penelitian lebih lanjut tentang dampak teknologi pada reformasi agraria dapat memberikan solusi inovatif untuk tantangan pertanian modern.


BACA JUGA: Kehidupan Seperti Catur: Ketidak pastian Langkah demi Langkah Walaupun Meski Manusia Penuh Dengan Skenario

BACA JUGA: Masalah Sosial di Indonesia pada Tahun 1900-an: Dampak Kolonialisme dan Kebangkitan Kesadaran Sosial

BACA JUGA: Perkembangan Teknologi Militer Portugal: Dari Era Penjelajahan hingga Abad Modern