Hukum Pidana Paham Komunis sebagai Kejahatan Lintas Negara Bagian: Analisis Mendalam
romanticheadlines.com, 01 MEI 2025
Penulis: Riyan Wicaksono
Editor: Muhammad Kadafi
Tim Redaksi: Diplomasi Internasional Perusahaan Victory88

Paham komunisme, khususnya Marxisme-Leninisme, telah menjadi isu sensitif dalam banyak negara, termasuk Indonesia, karena dianggap bertentangan dengan ideologi negara atau mengancam keamanan nasional. Dalam konteks hukum pidana, penyebaran paham komunisme sering dikategorikan sebagai kejahatan terhadap keamanan negara, dengan implikasi yang dapat melintasi batas wilayah administratif, seperti lintas negara bagian atau provinsi dalam suatu negara federal atau kesatuan. Di Indonesia, larangan terhadap komunisme berakar pada sejarah politik dan hukum, terutama pasca-peristiwa G30S/PKI 1965, dan diatur dalam berbagai peraturan seperti UU No. 27 Tahun 1999 dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Artikel ini akan menganalisis secara mendalam hukum pidana terkait paham komunisme sebagai kejahatan lintas negara bagian, dengan fokus pada kerangka hukum di Indonesia, relevansi dengan kejahatan transnasional, mekanisme penegakan hukum, serta tantangan dan implikasi hukumnya, berdasarkan sumber akademis, peraturan perundang-undangan, dan analisis kritis hingga Juni 2025.
Latar Belakang Hukum Pidana Komunisme di Indonesia

Sejarah dan Konteks Politik
Larangan terhadap paham komunisme di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari konteks sejarah, khususnya peristiwa G30S/PKI pada 30 September 1965, yang dianggap sebagai upaya kudeta oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Peristiwa ini memicu pembubaran PKI melalui Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966, yang menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang dan melarang penyebaran atau pengembangan ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk. Ketetapan ini menjadi dasar hukum awal untuk kriminalisasi komunisme, yang kemudian diperkuat melalui UU No. 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terkait Kejahatan terhadap Keamanan Negara.
Menurut Supriyadi Widodo Eddyono dalam Problem Kejahatan Terhadap Ideologi Negara Dalam RKUHP (2016), pengaturan kejahatan komunisme di Indonesia erat kaitannya dengan upaya melindungi Pancasila sebagai dasar negara. Komunisme dianggap bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, khususnya sila Ketuhanan Yang Maha Esa, karena dianggap mempromosikan ateisme dan perjuangan kelas yang mengancam keharmonisan sosial. Namun, kriminalisasi ini juga menuai kritik karena dianggap membatasi kebebasan berpendapat dan berekspresi, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 UUD 1945.
Definisi Komunisme dalam Hukum
Dalam UU No. 27 Tahun 1999, komunisme/Marxisme-Leninisme didefinisikan sebagai “paham atau ajaran Karl Marx yang terkait pada dasar-dasar dan taktik perjuangan yang diajarkan oleh Lenin, Stalin, Mao Tse Tung, dan lain-lain, mengandung benih-benih dan unsur-unsur yang bertentangan dengan falsafah Pancasila.” Definisi ini sengaja dibuat luas untuk mencakup berbagai manifestasi ideologi komunisme, termasuk penyebaran lisan, tulisan, atau melalui media apapun. Namun, luasnya definisi ini juga menimbulkan masalah, karena dapat diartikan secara subjektif dan berpotensi disalahgunakan untuk menargetkan kelompok atau individu tertentu.
Kerangka Hukum Pidana Komunisme di Indonesia
UU No. 27 Tahun 1999

UU No. 27 Tahun 1999 menambahkan enam pasal baru dalam KUHP, yaitu Pasal 107a hingga 107f, yang mengatur kejahatan terhadap keamanan negara terkait komunisme. Berikut adalah poin-poin utama:
- Pasal 107a: Barang siapa secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, atau media apapun menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dipidana dengan penjara paling lama 12 tahun.
- Pasal 107c: Jika penyebaran tersebut menyebabkan kerusuhan, korban jiwa, atau kerugian harta benda, pidana penjara maksimal 15 tahun.
- Pasal 107d: Jika penyebaran dilakukan dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara, pidana penjara maksimal 20 tahun.
- Pasal 107e: Mendirikan organisasi yang menganut komunisme atau memberikan bantuan kepada organisasi serupa, baik di dalam maupun luar negeri, dengan maksud mengubah dasar negara, dipidana penjara maksimal 15 tahun.
Pasal-pasal ini menegaskan bahwa penyebaran komunisme dianggap sebagai kejahatan serius, dengan sanksi yang lebih berat jika tindakan tersebut memiliki dampak nyata atau niat untuk menggulingkan ideologi negara.
RKUHP dan Perkembangan Terkini

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), yang masih dalam pembahasan hingga 2025, mempertahankan kriminalisasi komunisme dalam Pasal 219 dan 220. Pasal 219 mengatur larangan penyebaran komunisme/Marxisme-Leninisme dengan sanksi penjara hingga 7 tahun jika dilakukan dengan maksud mengubah dasar negara, dan hingga 15 tahun jika menyebabkan dampak luas. Pasal 220 melarang pendirian organisasi berbasis komunisme. Namun, RKUHP memberikan pengecualian untuk kajian ilmiah, dengan syarat tidak bertujuan menyebarkan ideologi tersebut.
Meskipun ada pengecualian untuk kepentingan ilmiah, pasal-pasal ini dikritik karena ketidakjelasan batas-batas “melawan hukum” dan “maksud mengubah dasar negara.” Menurut Eddyono, ketidakjelasan ini melanggar prinsip lex scripta (kejelasan rumusan tindak pidana), yang dapat menyebabkan interpretasi sewenang-wenang.
Komunisme sebagai Kejahatan Lintas Negara Bagian

Definisi Kejahatan Lintas Negara Bagian
Dalam konteks Indonesia, yang merupakan negara kesatuan, istilah “lintas negara bagian” dapat diartikan sebagai kejahatan yang melintasi batas provinsi atau wilayah administratif. Namun, dalam konteks global, kejahatan lintas negara bagian sering dikaitkan dengan kejahatan transnasional, yaitu tindak pidana yang melibatkan dua negara atau lebih, seperti yang diatur dalam United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (UNCATOC). Kejahatan transnasional mencakup unsur-unsur seperti perencanaan di satu negara dan pelaksanaan di negara lain, atau keterlibatan kelompok kriminal yang beroperasi lintas batas.
Penyebaran paham komunisme dapat dikategorikan sebagai kejahatan lintas negara bagian jika melibatkan aktivitas yang terkoordinasi antar wilayah, seperti penyebaran propaganda melalui media digital yang menjangkau berbagai provinsi, atau pendirian organisasi dengan jaringan lintas daerah. Dalam konteks Indonesia, kejahatan ini juga dapat memiliki dimensi transnasional jika melibatkan aktor atau pendanaan dari luar negeri.
Relevansi dengan Kejahatan Transnasional
Menurut Indonesian Transnational Crime Centre (TNCC), kejahatan lintas negara tidak hanya melintasi batas geografis, tetapi juga memiliki dampak yang signifikan terhadap negara lain. Dalam kasus komunisme, penyebaran ideologi dapat dianggap transnasional jika:
- Melibatkan jaringan internasional: Misalnya, organisasi yang berbasis di luar negeri memberikan dukungan logistik atau ideologis untuk menyebarkan komunisme di Indonesia.
- Menggunakan teknologi digital: Media sosial dan platform online memungkinkan penyebaran propaganda komunisme lintas batas tanpa kehadiran fisik.
- Mempengaruhi stabilitas regional: Penyebaran komunisme di satu provinsi dapat memicu kerusuhan yang berdampak pada provinsi lain atau bahkan negara tetangga.
Sebagai contoh, jika sebuah kelompok di Jawa Barat menyebarkan propaganda komunisme melalui X yang menjangkau Sumatera Utara, dan didukung oleh pendanaan dari organisasi asing, tindakan ini dapat dianggap sebagai kejahatan lintas negara bagian dengan elemen transnasional. Dalam hal ini, hukum pidana Indonesia dapat diterapkan, tetapi penegakan hukum memerlukan koordinasi antarprovinsi dan kerja sama internasional.
Mekanisme Penegakan Hukum
Penegakan hukum terhadap kejahatan komunisme lintas negara bagian melibatkan beberapa mekanisme:
- Koordinasi Antarprovinsi: Kepolisian Republik Indonesia (Polri) memiliki wewenang untuk menangani kejahatan yang melintasi batas provinsi, dengan dukungan dari Badan Intelijen Negara (BIN) untuk mendeteksi ancaman ideologis.
- Pemanfaatan Hukum Ekstradisi: Jika pelaku melarikan diri ke negara lain, Indonesia dapat mengajukan permintaan ekstradisi berdasarkan UU No. 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi, asalkan tindak pidana tersebut memenuhi prinsip double criminality (dianggap kejahatan di kedua negara).
- Pemantauan Media Digital: Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) berperan dalam memantau penyebaran propaganda komunisme melalui platform digital, yang sering kali memiliki jangkauan lintas wilayah.
- Kerja Sama Internasional: Indonesia dapat bekerja sama dengan organisasi seperti Interpol atau ASEAN untuk menangani jaringan komunisme transnasional, terutama jika melibatkan pendanaan atau pelatihan dari luar negeri.
Namun, penegakan hukum ini menghadapi tantangan, seperti kesulitan membuktikan niat “mengubah dasar negara” atau membedakan antara penyebaran ideologi dan kajian ilmiah.
Tantangan dalam Hukum Pidana Komunisme
Ketidakjelasan Hukum
Salah satu kritik utama terhadap hukum pidana komunisme adalah ketidakjelasan rumusan pasal, yang melanggar prinsip nullum crimen sine lege (tidak ada kejahatan tanpa hukum yang jelas). Pasal 219 RKUHP, misalnya, tidak mendefinisikan secara spesifik bagian mana dari ajaran komunisme yang dilarang, apakah seluruh doktrin Marx atau hanya taktik perjuangan Lenin. Ketidakjelasan ini dapat menyebabkan penyalahgunaan hukum untuk menekan kebebasan akademik atau politik.
Konflik dengan HAM
Kriminalisasi komunisme sering dianggap bertentangan dengan hak asasi manusia, terutama kebebasan berpendapat dan berekspresi. Menurut Al Araf, seperti dikutip dalam CNN Indonesia (2016), paranoia terhadap komunisme dapat membatasi kebebasan berekspresi, seperti penggunaan simbol palu-arit dalam konteks seni atau akademik. Konflik ini diperparah oleh sejarah penyalahgunaan hukum anti-komunisme selama Orde Baru untuk menargetkan lawan politik.
Bukti dan Penegakan Hukum
Membuktikan bahwa seseorang menyebarkan komunisme dengan niat mengubah dasar negara adalah tantangan besar. Dalam kasus lintas negara bagian, koordinasi antarlembaga sering kali terhambat oleh birokrasi atau perbedaan prioritas. Selain itu, penggunaan media digital memperumit penegakan hukum, karena pelaku dapat beroperasi secara anonim atau dari luar yurisdiksi Indonesia.
Persepsi Sosial
Persepsi negatif terhadap komunisme di Indonesia, yang diperkuat oleh narasi Orde Baru, sering kali memicu reaksi berlebihan terhadap isu komunisme. Misalnya, tuduhan tanpa bukti terhadap individu atau kelompok sebagai “komunis” dapat memicu konflik sosial atau pelanggaran HAM. Hal ini mempersulit penerapan hukum secara adil dan objektif.
Implikasi Hukum dan Sosial
Implikasi Hukum
- Peningkatan Koordinasi Lintas Wilayah: Kejahatan komunisme lintas negara bagian memerlukan kerja sama yang lebih erat antara pemerintah pusat dan daerah, serta dengan negara lain, untuk menangani jaringan transnasional.
- Reformasi Hukum: Untuk mengatasi ketidakjelasan, RKUHP perlu dirumuskan dengan lebih jelas, dengan batasan yang tegas antara kejahatan ideologis dan kebebasan akademik.
- Peningkatan Kapasitas Penegak Hukum: Pelatihan bagi polisi dan jaksa diperlukan untuk memahami kompleksitas kejahatan ideologis, terutama dalam konteks digital.
Implikasi Sosial
- Polarisasi Masyarakat: Kriminalisasi komunisme dapat memperdalam polarisasi, terutama jika digunakan untuk menargetkan kelompok tertentu tanpa bukti yang kuat.
- Pendidikan Sejarah: Untuk mengurangi paranoia, pemerintah perlu memfasilitasi pendidikan sejarah yang objektif tentang komunisme dan peristiwa 1965, sebagaimana disarankan oleh Al Araf.
- Kebebasan Akademik: Pengecualian untuk kajian ilmiah dalam RKUHP harus ditegakkan secara konsisten untuk melindungi kebebasan akademik.
Perbandingan dengan Hukum Internasional
Di beberapa negara, seperti Tiongkok atau Vietnam, komunisme adalah ideologi resmi negara, sehingga tidak dikriminalisasi. Namun, di negara-negara bekas blok Timur seperti Polandia atau Lituania, simbol komunisme seperti palu-arit dilarang di ranah publik karena dianggap terkait dengan represi masa lalu. Berbeda dengan Indonesia, larangan ini biasanya lebih terfokus pada simbolisme dan tidak mencakup sanksi seberat di Indonesia.
Dalam hukum internasional, kejahatan transnasional seperti terorisme atau pencucian uang lebih sering menjadi fokus dibandingkan kejahatan ideologis. Namun, prinsip ekstradisi dan kerja sama antarnegara, seperti yang diatur dalam UNCATOC, dapat diterapkan jika penyebaran komunisme melibatkan unsur transnasional. Indonesia dapat memanfaatkan kerangka ini untuk menangani kasus yang melibatkan aktor asing, tetapi harus memastikan kepatuhan dengan standar HAM internasional.
Kesimpulan
Hukum pidana terkait paham komunisme di Indonesia, sebagaimana diatur dalam UU No. 27 Tahun 1999 dan RKUHP, mencerminkan upaya negara untuk melindungi Pancasila dari ancaman ideologis. Dalam konteks lintas negara bagian, penyebaran komunisme dapat dianggap sebagai kejahatan yang kompleks karena potensinya melibatkan koordinasi antarwilayah atau bahkan elemen transnasional. Namun, ketidakjelasan rumusan hukum, konflik dengan HAM, dan tantangan penegakan hukum menjadi hambatan utama dalam penerapan yang adil dan efektif. Untuk mengatasi ini, Indonesia perlu mereformasi hukumnya dengan definisi yang lebih jelas, meningkatkan koordinasi antarlembaga, dan mempromosikan pendidikan sejarah yang objektif. Dalam dunia yang semakin terhubung, hukum pidana komunisme harus diseimbangkan dengan prinsip keadilan dan kebebasan, sambil tetap menjaga stabilitas nasional tanpa memicu polarisasi atau penyalahgunaan hukum.
BACA JUGA: Masalah Sosial di Indonesia pada Tahun 1900-an: Dampak Kolonialisme dan Kebangkitan Kesadaran Sosial
BACA JUGA: Perkembangan Teknologi Militer Portugal: Dari Era Penjelajahan hingga Abad Modern